CERITA DEWASA MENCICIPI TUBUH BAHENOL PENARI JALANAN

CERITA DEWASA MENCICIPI TUBUH BAHENOL PENARI JALANAN


CERITA DEWASA MENCICIPI TUBUH BAHENOL PENARI JALANAN, Hasrat-Bispak45 Seluruhnya orang didalamnya perlu bertarung dan berkorban agar tidak tergusur, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan cerita hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya gak hanya itu. Denok pula bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Periode kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda ialah orang penari, dan seringkali ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak mempunyai banyak hutang karena edan judi, serta beliau tidak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih lantaran Bapak sudah tak ada, tetapi juga kebingungan karena beberapa waktu sesudah Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih biro judi yang berikan hutang terhadap Bapak. Kami gak mempunyai tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima sebab dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, tandingan banyak. Pada akhirnya sehabis lumayan lama melihat pelbagai peluang yang ada, Simbok menetapkan untuk menggunakan keterampilan kami. Hanya modal baju dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah bersiap ujian akhir SMA atau melalui tahun awal kuliah, serta yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan anyar, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak mudah pula cari uang dengan sebagai berikut, paling-paling yang kami peroleh cukup hanya buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Dan tidak di seluruh tempat kami dapat memperoleh pirsawan yang mau bayar, kadangkala kami justru ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat selalu bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah semasing. Kedatangan kami dari sana selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Biarpun kerapkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami oleh kurang santun semisalnya dengan disembunyikan ke kemeja kami. Apa saya serta Simbok benar-benar memikat? Tidak tahu ya. Saya sendiri tak berasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok pun sejak dahulu terus mengajarkan serta mengingati saya untuk menjaga badan meski dengan langkah simple, jadi kendati sawo masak, kulit saya selalu mulus dan tak jerawatan manalagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pula sich kalaupun di sebut saya montok. Gak tahu mengapa, walaupun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya jadi bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus risau dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun cepat karena dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang kira demikian. Terheran-herannya, walau atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu elok. Hingga usia begitu lantas beliau terus elok. cerpensex.com Manalagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok serta gak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus terasa buruk lho jika tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok semua katakan saya elok. Saya berpikir, ini mah pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir pula diberi gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membuat suka yang melihat."


Lambat-laun saya biasa pula memanfaatkan dandanan sesuai itu, justru saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari kejadian penganten, sesaat kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, serta selendang. 


Namun memang yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami bertempat di dekat Pasar, tragedi ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok gak terbantu. Simbok mati di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya mulai sejak ketabrak pun Simbok sudah tak ada asa, namun entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Sampai gak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka dari itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tidak ingin tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penyemayaman, justru perlu berutang kemanapun. Saya gak sanggup menyelenggarakan acara jenis-jenis buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja lantaran sangat sendu. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pun kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang udah habis serta saya  harus lawan beberapa tukang tagih hutang yang tidak mau tahu kesusahan saya . Sehingga, satu minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, dan sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin usaha dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA MENCICIPI TUBUH BAHENOL PENARI JALANAN

Naasnya, hari itu pasar lumayan sepi, serta selepas dua jam saya anyar bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan pemikiran, bagaimana tekniknya biar kelak bila pulang sudah mempunyai cukup uang untuk bayar sewaan. Belum beberapa hutang yang lain. Mendekati siang, saya lagi jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan sedang mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu hanya tahu beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberinya kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta ada di belakang. Tokonya tengah sepi, tidak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat ongkos penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji bakal balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya geram namun tak berani menunjukkan; kayaknya Juragan tidak ingin pinjamkan uang. "Sekedar ngerinya saya tidak dapat cukup dapat uang ini hari untuk bayar sewa. Bila berjualan, saya nggak miliki apapun, harus jual apa?"


Tetapi terus tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu gak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya perlu uang, namun apa harus melalui cara seperti berikut? Namun kalaupun tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak punyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga tidak terdengaran. Jika saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan udah nampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu menyaksikani lantai, tak berani mengangkut kepala, namun kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari memandang kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memperlihatkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Namun saya masih sangsi. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak ingin ya udah," ujarnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sehabis bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki berterus-terang ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja ditempatkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awalnya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat mendapat uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sejumlah itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat beroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena barangkali barusan saya malu serta lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan membeberkan kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya kian deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa selayaknya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sekalian saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun gak tahu mengapa, saya pun kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan tak henti menyaksikan sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Marilah donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama